Basmalah... Bismillahirrahmanirrahiim

Hope Allah always beside on me, beside on us... and blessing all we do. Because without Allah, we are nothing.
Start everything in the name of Allah.

Kunjungan

Akhirnya mendapatkan petunjuk, untuk menjadikan halaman ini sebagai ruang belajar baru antara aku dan anakku. antara Shafiyyah dan Saffanah. mari kita coba -23042013-
free counters
Blogger Indonesia

Tuesday, October 04, 2011

Cerpen 2 : Pilihan Dion


Matahari belum tinggi, hari itu adalah hari pertama bagi Dion untuk memasuki sekolah barunya. Pindah dari satu kota ke kota lain mengikuti kesibukan mama, bukanlah pilihan yang menyenangkan. Saat Dion sampai di meja makan, Diza sedang menyiapkan roti dengan lapisan selai coklat dan apel favorit mereka berdua. Diza menatap Dion tersenyum, dan melanjutkan kesibukannya tanpa suara. Diza adalah anak papa, dan Dion adalah anak mama. Mereka baru saja dipertemukan satu bulan yang lalu karena papa dan mama memutuskan untuk menikah, dan Dion harus mengalah dengan satu janji dari mama, ini adalah kepindahan terakhir bagi mereka.

“Aku boleh minta roti-nya?”

“Ini, isi coklat, kan?”

Dion menatap Diza dengan kagum. Sekalipun mereka se-usia, tapi Diza tampak begitu dewasa. Diza sudah sangat lama menggantikan posisi bundanya bagi sang papa. Dan bagi Dion itu adalah keajaiban, karena anak perempuan zaman sekarang, lebih suka menghabiskan banyak waktu nya di mall atau di salon untuk bersolek. Tapi Diza tidak. Sebelum memutuskan untuk satu sekolah dengan Diza atau tidak, Dion berfikir lama, mengamati setiap hari aktifitas Diza, mengikutinya kemana pun saudari barunya itu pergi, dan adalah satu hal yang paling mengagumkan, selain sekolah, waktu Diza dihabiskan dirumah. Guru les datang kerumah, teman-temannya main dirumah, sampai belanja apa pun dilakukannya dari rumah.

“Dion, kok bengong? Kamu ke sekolah kan hari ini?”

“Eh, iya.”

“Aku gak bisa kemana-kemana sepulang sekolah, jadi kalau kamu mau jalan-jalan, nanti aku kenalkan dengan Tyo, biar dia yang temani kamu.”

“Gak usah.”

“Gak usah gimana? Anak-anak disekolahku itu, suka gak ngeh kalau ada anak baru. Jadi kamu harus punya teman dulu satu, biar gak bingung cari kelas dan ngerjain tugas nanti.”

“Memangnya kita gak sekelas?”

“Nggak. Dengan kurikulum yang disesuaikan dengan sistem kredit, kita gak akan punya kesempatan satu kelas, kecuali memang dari awal kamu sekolah bareng aku.”

Dion menyelesaikan menyantap roti-nya, dan kemudian kembali ke kamar untuk mengambil tas-nya. Diza langsung menuju ke mobil yang akan mengantar mereka ke sekolah.

Masuk ke sekolah yang baru, bukan hal yang baru bagi Dion, tapi dikenalkan dengan seorang ketua OSIS di depan ruang guru, adalah pengalaman yang sangat baru bagi Dion. Serasa aneh dan terlalu istimewa, tapi karena sekolah Diza memang tidak biasa, jadi Dion berusaha bersikap sudah terbiasa. Ruang kelas yang isinya tidak pernah sama, guru-guru yang menjelaskan materi sambil memaksa siswanya melesaikan tugas praktikum, bahkan bel pergantian jam pelajaran yang selalu mengejutkan, karena tugas belum selesai mereka sudah harus mengumpulkan paper dan pindah ke kelas lain. Hingga saat jam istirahat tiba, kantin yang seluas dua kali lapangan basket penuh, setiap wajah saling berhadapan, bersama makanan juga tugas-tugas pelajaran kelas berikutnya.

Dion mencoba menemukan Diza, tapi kemudian pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang, Tyo.

“Ayo, aku temani, nanti aku kenalkan dengan kelompoknya Diza.”

Dion berjalan mengikuti langkah Tyo, menuju satu meja yang dipeneuhi dengan banyak siswi cantik berambut panjang se pinggang yang tak diikat, semua penampilan mereka mirip, kecuali jepit rambut atau pun bandana mereka yang warna-warni.

“Diza, dicariin.” Tyo menyapa mereka, dan semua wajah menatap Dion.

“Hai, kenalkan, ini saudara baru aku, namanya Dion, yang minggu lalu sudah main kerumah tapi belum ketemu sama Dion, kenalkan ini Dion. Dion ini….” Diza menyebutkan tujuh nama yang tidak mungkin dihafalkan Dion saat itu juga.

“Ok, aku cari tempat lain aja, lanjutkan deh.” Dion segera beranjak meninggalkan keelompok gadis-gadis itu, menemukan satu meja yang tidak dihuni di sudut yang lain, tapi dia masih bisa melihat Diza dari tempat duduknya.

“Hai.” Kali ini dia dikejutkan dengan sapa seseorang, seorang gadis.

“Kata Diza, kamu ambil kelas Biologi ya setelah istirahat? Aku Jika, asisten kelas Biologi. Nanti bareng aku ya. Atau mau aku temani makan siang juga?” Dion menemukan tatapan aneh dari cara memandang Jika, tapi yang disadarinya kemudian Jika sudah duduk dan menyibukkan diri dengan makanannya ditambah buku modul biologi yang tampak tak biasa bagi Dion.

Ini adalah pengalaman pertama bagi Dion, ditemani duduk, makan, tapi dicuekin dan gak diajak ngobrol. Dan seperti sudah kenal kebiasaan siswa-siswi sekolah ini Dion membiarkan saja semuanya terjadi tanpa dia harus tampak kebingungan. Hingga bel kembali ke kelas mengejutkan setiap nafas, dan serempak mereka beranjak dari kursi kantin, dan tampak teratur menuju kelas masing-masing, Dion terkagum-kagum rasanya, kalau saja Jika tidak mengingatkannya, mungkin Dion masih akan asik menikmati pemandangan dihadapannya.

Sampai jam pulang sekolah, dan Diza tampak menunggu Dion di mobil yang menjemput mereka.

Gimana, capek? Mau pulang atau jalan-jalan lagi? Diza tersenyum menemukan wajah Dion yang lusuh dan kelelahan.

Pulang aja ya.

Dan mereka sesegeranya sampai dirumah. Diza segera kembali pada rutinitasnya, sedangkan Dion memilih untuk mengistirahatkan diri di sofa ruang tv, menatap langit-langit rumah yang berhiaskan ornament klasik, dan diperluas dngan pemasangan cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Ingin rasanya Dion tersenyum, tapi dia terlalu lelah, dan sekejapan dia terlelap.

Sesaat sebelum Dion membuka matanya, dia mendengarkan suara obrolan yang sepertinya sangat serius, tapi yang satu dia tau itu adalah suara Diza.

“Capek memang, Ma. Tapi itulah sekolah sekarang, kalau tidak serius, sepertinya semua tidak akan bisa diselesaikan. Mau tidak mau memang harus dijalani, dan ini semua pilihan. Kalau kata papa, lebih baik bersakit-sakit dulu sekarang, dari pada nanti kita tidak bisa mendapatkan apa yang  jadi keinginan. Banyak yang bilang sama Diza, terlalu menjenuhkan jadi Diza, sekolah, les, belajar terus, dan hampir tidak ada waktu bersenang-senang. Tapi kalau kita bisa lebih cepat menyelesaikan yang ini, kenapa harus ber-lama-lama. Lagi pula pilihan Diza sudah cukup jelas, dan Diza akan mengejarnya sekuat tenaga.”

“Eh, Dion, sudah bangun?” Suara mama menyapa saat menemukan Dion tengah menggeliat, memulihkan kesadaran dirinya.

“Ngobrol apa, Ma?” Dion mengalihkan posisi tidurnya menjadi duduk, dan menemukan Diza tengah berkutat dengan tugas sekolahnya.

“Mama ngobrol sama Diza soal sekolah, sepertinya hari pertama saja kamu sudah kelelahan, bagaimana yang berikutnya?”

“Diza kayaknya udah biasa banget, Ma. Hari pertama saja Dion bingung, seisi sekolah semuanya sibuk, bahkan sepertinya yang main di lapangan, cuma mereka yang punya energi lebih sepulang sekolah. Setiap hari gitu, ya Diz?”

“Itu pilihan namanya.” Diza menjawab singkat dan kembali tenggelam dalam kesibukannya.

Dion menemukan satu kesimpulan di hari pertamanya sekolah lagi, dan dia menuliskannya dalam satu catatan di dalam agendanya.

Setiap hari, orang tua kita bekerja, menghabiskan banyak waktu diluar rumah, dan kemudian ada anak-anak yang memilih untuk tidak mengganggu kesibukan orang tua mereka dengan menemukan kesibukan mereka sendiri, seperti Diza. Sepertinya belajar dan hanya belajar yang jadi pilihannya, bukan bermain atau bersosialisasi dengan dunia luar, apa lagi menghabiskan banyak waktu untuk bersenang-senang di lingkungan yang belum tentu menerimanya. Ini adalah salah satu potret kehidupan anak sekolah tahun 2011, belum lagi nanti generasi mendatang. Aku menentukan pilihanku sekarang, tidak masalah aku lelah belajar, tapi aku akan tetap menikmati hidupku dengan caraku.

Dion mengambil gitarnya, dan pergi keluar rumah, yang jadi tujuannya adalah lampu merah kedua setelah keluar dari komplek perumahan tempat dia tinggal sekarang. Tadi saat pulang sekolah, dilihatnya ada sekumpulan anak jalanan yang sedang sibuk belajar, tapi Dion yakin, mereka masih punya waktu untuk bersenang-senang.

 

Malang, 4 Oktober 2011

Untuk Gerakan 30 Hari Menulis.

(1150 kata)



+ gambar dari sini

No comments:

Post a Comment

tinggalkan pesan anda disini...