Basmalah... Bismillahirrahmanirrahiim

Hope Allah always beside on me, beside on us... and blessing all we do. Because without Allah, we are nothing.
Start everything in the name of Allah.

Kunjungan

Akhirnya mendapatkan petunjuk, untuk menjadikan halaman ini sebagai ruang belajar baru antara aku dan anakku. antara Shafiyyah dan Saffanah. mari kita coba -23042013-
free counters
Blogger Indonesia

Saturday, October 29, 2011

suka?

"aku suka kamu..."

ingat gak lagu yang ada potongan kalimat itu?
hm, lagu lama, yang terlintas saat aku membuka halaman twitter @anakkusaffanah dan membaca time line. aku sudah beberapa hari tidak menulis, disebabkan oleh sakit yang datang bersamaan....
hm, kok bisa kompak bunda dan saffa sakit flu... bebarengan.

eh, tinggal 3 hari lagi bulan oktober, bunda sibuk apa?
macem-mecem deh...
tapi mumpung ingat, setelah mengoceh tentang membaca dan menulis di halaman multiply, sekarang mau merecoki halaman blogspot tentang HOBI.

hobi yang satu ini sangat krusial.
namanya adalah : BELAJAR

banyak hal yang dikategorikan belajar, dan kali ini bunda saffa sedang hobi belajar tentang jualan, pemasaran, promosi, dan termasuk didalamnya, desain promo.
dan rasanya tidak bosan-bosan melakukannya setiap hari...

bagaimana dengan kamu?

untuk #G30HM

Tuesday, October 18, 2011

4 souls 4 ideas 4 inspirations

at the first time I have no idea about who is the person that I admire in most. but after 4 days, I decided to share this...
this is the biggest secret in my day. some people that was always inspire me to write and do something better and better...


the 1st is my father.
maybe for some doughter, father just father. but my father was be my inspiration and he always inspiring me about this life. it will never end, because as a good admirer i just keep it in my heart. i have no more word for this.


the 2nd : a singer that have so many talent, famous and still like usual, she always inspiring me in so many character in my writing. Agnez Monica, I 'm not like some fans who admiring her. I just admiring her like I can. I will not run after her and hug my idol, and screaming hysteric when I meet her. I just a secret admirer, who want to find her as success actress and singer.


the 3rd : an actor, architect, and make me want to be an architect too. Just an ordinary girl, I ever dream about meet him in his campus, got a group work with him, and maybe next time I will write a charater and he will be the actor with that character. just a dream of course.


the 4th : my best friend. Fara. just read about her... here. I will never forget all about her, till my life end.


just it.

I do not know, who will be the next....




-phy-
october 18th 2011
#G30HM

Friday, October 14, 2011

Es Favorit - tiada tara

Review 7 untuk #G30HM

Es KTT (bukan *konferensi tingkat tinggi* looo!)

http://esktt.wordpress.com/

Kalau jalan-jalan ke kota Malang, saya rekomendasikan warung es ini untuk didatangi. Bukannya tidak ada warung lain yang pantas, tapi Es KTT memang pantas untuk di prioritaskan. Selain karena ragam menu es-nya yang mengagumkan, rasanya yang gak pernah gak enak, dan juga isi dan campurannya yang selalu menggoda selera.

alamatnya ada di Jl. Bendungan Sutami kota Malang.

Es Kacang Top Ternate. itu kepanjangannya.

Tapi kenapa saya tulis ini di hari yang ke-7?

Karena saya masih selalu menikmati Es KTT sampai hari ini.

Kalau menu yang lain, hanya kadang-kadang, atau sangat jarang, menu yang ini sebulan bisa dua sampai tiga kali, saya pergi beli dan menikmatinya bersama suami dan anak.

favorit saya, nyiur melambai dan original.

dan perlu diingat, kalau weekend jangan kesorean ke warung-nya, sering ke-habisan.

ok, just enjoy your food.

Thursday, October 13, 2011

Makan Enak - ala Bunda Saffa


Hi, You have check my another blog!

apa kabar? kali ini aku mau menulis review!
sesuatu yang hanya aku post disini!


ini tentang sesuatu yang kataku (as Bunda Saffa) sebagai makan enak!
makan enak, itu belum tentu harus makan masakan super chef, atau makanan mahal, atau....
makan enak, itu kalau hati senang, dan kita tidak merasa menyesal atau khawatir setelah memakannya.

dan makan enak kali ini berjudul, PIZZA.

karena di kota Malang yang paling terkenal adalah PIZZA HUT, maka review kali ini adalah tentang menu Pizza favorit saya di PIZZA HUT.
cerita tentang Pizza, adalah salah satu makanan yang akan saya nikmati ketika saya mendapatkan rezeki lebih untuk membahagiakan diri sendiri.
tapi saya tidak akan menikmatinya sendiri.
saya selalu menikmati Pizza dengan orang yang saya anggap dekat, atau lebih kurang saya akrab.
pertama kali makan Pizza di resto-nya adalah dengan seorang teman SMA, namanya Lisda. lalu pernah juga makan dengan Nisa', Deena, dan dengan calon suami.
selebihnya, dulu papa sering membelikan ukuran loyang besar, untuk dimakan sekeluarga di rumah.

bagi saya, Pizza adalah warna kebahagiaan. taburan kesejahteraan diatas kemapanan, dan juga kenikmatan yang menggugah semangat.

jadi, saya tidak akan makan makanan enak ini dengan hati sedih, saya juga tidak akan makan pizza untuk melampiaskan kekesalan hati saya. dan Pizza, bagi saya adalah selalu enak... dinikmati bersama mereka yang dekat di hati saya.

enjoy your Pizza!!

ditulis untuk review #G30HM
malang, 13 oktober 2011

Friday, October 07, 2011

Cerpen 4 : Book and Ship*

Dari mana rasa suka itu datang?

Dari mata turun ke hati?

Bukan-bukan… bukan itu…

Dari mulut turun ke perut?

Itu kalau lapar, lalu?

Kalau ‘friendship’? *

 

Ceritanya bermula dari sebuah ruang perawatan buku perpustakaan sebuah SMA, di dalam ruang baca yang sederhana dan penuh buku-buku, biasanya ada banyak siswa yang belajar, membaca, atau sekedar lihat-lihat buku. Tapi ini cerita yang lain, Dira, seorang cewek cantik yang sudah sejak kecil sangat menyukai bacaan, terutama buku, menemukan cerita yang lain diantara buku-buku baru di perpustakaan sekolahnya, cerita dari ruang perawatan buku.

Menurut Dira, seharusnya buku yang baru keluar dari ruang perawatan, belum ada yang bisa meminjam, apa lagi sampai menuliskan nomor anggota di daftar peminjam buku-nya, tanpa seizin petugas perpustakaan. Tapi, setiap kali buku baru yang jadi incaran Dira muncul di rak buku baru, sebagian sudah pernah dibaca oleh orang lain, satu nomer berkode, D.2010.XA-15. Dan itu tidak mungkin nomor petugas perpustakaan.

Inisialnya pasti D, dengan tahun masuk ke sekolah 2010, dan waktu kelas X, kemungkinan besar di  X-A, dan nomor presensinya 15. Karena nomor milik Dira adalah D.2011.XB-10. Dengan urutan nomor yang dia pahami. Penasaran? Sangat! Karena Dira sangat suka membaca buku baru, tapi dia sangat tidak telaten untuk menyampul atau menyimpan dengan baik buku-buku yang dia punya. Jadi Dira sangat jarang membeli buku, kecuali dia memiliki kesempatan lebih untuk jalan-jalan ke toko buku, dan merawat bukunya sebelum membacanya.

 

Sudah satu tahun berlalu, tapi Dira tidak juga menemukan siapa orang yang meminjam buku-buku itu sebelum dia, jadi dengan berat hati, dan dengan sangat ingin membebaskan diri dari rasa penasarannya, Dira menemui petugas perpustakaan yang berjaga hari itu, sepulang sekolah.

“Pak, permisi.”

“Ada apa, Mbak Dira, ya?”

“Iya, Pak. Pak begini, saya mau bertanya, apa ada buku baru yang bakalan keluar besok atau dalam minggu ini?”

“Ada, Mbak Dira. Mbak Dira mau pinjam bukunya kalau ditaruh di rak besok, atau mau saya simpankan?”

“Boleh, Pak. Bisa saya lihat daftar buku-nya?”

Dira menerima satu lembar daftar buku baru yang akan ditaruh di rak besok pagi.

“Hm, yang ini saja, Pak. Besok bisa saya ambil pagi-pagi, Pak?”

“Hm, waktu jam istirahat saja, Mbak Dira. Takutnya kalau saya belum selesai beres-beres.”

“Ya, sudah kalau begitu, terima kasih, Pak.”

Dan keesokan paginya, Dira memutuskan untuk datang pagi sekali ke sekolah, duduk di depan pintu ruang perpustakaan yang masih terkunci, dan mengamati setiap wajah yang lewat. Tapi sampai bel masuk berbunyi, Bapak petugas perpustakaannya belum muncul, jadilah Dira sedikit menyesal, dan dia dengan berat hati mengikuti pelajaran pertamanya hari itu.

 

Saat bel jam istirahat berbunyi, Dira menolak semua ajakan teman-temannya yang mau ke kantin, dan dengan tergesa dia berlari menuju ruang perpustakaan yang cukup jauh dari jangkauannya. Saat sampai di perpustakaan, sepi. Hanya ada dua orang anak perempuan sedang sibuk berdiskusi tentang tugas mereka. Dira segera menghampiri meja petugas perpustakaan, dan disambut dengan senyuman oleh si bapak.

“Wah, Mbak Dira, gak ke kantin dulu?”

“Nggak, Pak. Oh, ya, buku yang kemarin saya pesan?”

“Oh, ini.” Dua buku yang sudah bersampul rapi itu berpindah tangan.

“Di isi buku pinjam-nya dulu, ya, Mbak Dira.”

“Iya, Pak.”

Sambil mengisi buku daftar peminjaman, Dira memeriksa bagian belakang buku yang ada kartu daftar peminjamnya. Dan Dira menemukan nomer yang sama.

“Sudah, Pak.” Dira mengembalikan pena yang dipakainya.

“Satu minggu, ya, Mbak.”

“Oh, ya, Pak. Sampai lupa, mau tanya. Yang menyampul buku-buku ini siapa, ya, Pak?”

“Kenapa, Mbak Dira? Mau disampulkan juga buku-nya?”

“Hehe, kalau bisa, sih, Pak.” Dira berusaha menutupi rasa penasarannya, dia sudah semalaman mencari pertanyaan yang tepat agar tidak ketahuan sedang mencari identitas seseorang.

“Dygta. Sekarang dia kelas XII, dia kerja sambilan, Mbak. Buat nambah uang saku. Lumayan, satu buku dia cuma minta seribu. Meringankan pekerjaan saya.”

“Dygta? Dygta yang ketua eks-kul futsal itu?” Dira menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Iya, Mbak Dira kenal? Bilang aja langsung, dia dengan senang hati membantu, kok, kalau soal buku.”

 

Sepulang sekolah Dira memutuskan untuk menunggu Dygta didepan sekolah. Sampai sekolah sepi, dia tidak menemukan sosok yang ditunggunya, dengan berat hati Dira melangkah meninggalkan sekolahnya. Belum sepuluh langkah Dira menjauh, seseorang yang dikenalinya sebagai Dygta, lewat disampingnya. Otomatis dia berteriak memanggil, dan yang dipanggil me-rem sepedanya tiba-tiba, sesaat Dygta menemukan sosok Dira yang hendak menghampirinya.

“Maaf,lagi buru-buru. Besok aja, ya!” Dygta berseru tanpa menunggu Dira mendekatinya.

Dan hari itu berakhir tanpa rasa menyenangkan bagi Dira.

 

Dira memutuskan masuk ke ruang perpustakaan beberapa hari berikutnya, tidak dengan niat menemukan Dygta, dan sudah tanpa harapan rasanya untuk bisa mendapatkan penjelasan tentang buku-buku yang apakah itu dibaca Dygta atau tidak. Tapi seseorang mengejutkannya saat Dira sedang serius dengan buku bacaannya.

“Maaf kemaren, ada apa? Dygta duduk dihadapan Dira. Dira hanya terdiam, menemukan Dygta dihadapannya. Lama, sampai Dygta harus melanjutkan kalimatnya duluan.

“Kemaren aku harus buru-buru, sebab teman-teman sudah menungguku di lapangan futsal, aku keluarnya telat, soalnya harus bantu merapikan buku di perpustakaan. Jadwalnya setiap hari Rabu dan Sabtu. Kamu Dira, kan? Aku sempat gak yakin waktu kamu sapa kemaren, tapi setelah aku ingat-ingat beberapa hari ini, aku baru yakin betul kamu yang menyapaku.” Akhirnya Dira menarik nafasnya panjang, dan memulai bicara.

“Kamu baca buku-buku novel sastra dan cerita-cerita remaja itu?”

“Buku? Sebentar, kamu memanggil aku kemaren mau bertanya soal buku?”

“Ini nomor anggota perpustakaanmu?” Dira membuka halaman buku yang sedang dibacanya, ada kartu peminjam dengan nomer D.2010.XA-15 dibarisan pertamanya.

Dygta tersenyum.

“Kenapa senyum?”

“Kamu sedang main detektif-detektif-an?”

“Nggak, aku cuma penasaran aja. Dan aku gak mau mati penasaran, karena setelah SMA aku baru menemukan seseorang yang selera bacaannya sama denganku. Dira menjelaskan penuh pembelaan.”

“Ya, ya. Hm… iya, itu nomerku, lalu?”

“Tidak ada.” Dan Dira sekuat tenaga mengabaikan keberadaan Dygta yang masih sibuk mengamatinya. Didalam hatinya ada rasa senang, bercampur dengan rasa marah karena sebal, dan juga ingin mengamuk, karena ternyata Dygta bersikap seolah-olah apa yang dilakukan Dira adalah hal paling konyol seluruh dunia.

 

Ini adalah rasa yang tidak mungkin diredam dalam hitungan menit, rasa ingin berbagi tentang pengalaman membaca, rasa ingin meng-ungkapkan semua greget saat mengikuti cerita, dan masih banyak hal yang ingin disampaikan Dira. Tapi ekspresi Dygta tidak pernah berubah, sekalipun saat menemukan Dira lewat disekitarnya, caranya memandang Dira sangat membuat Dira tidak senang, dan membenci keputusannya untuk menemukan seseorang dengan selera bacaan yang mirip dengannya.

Sampai hari kelulusan itu tiba,bagi Dygta. Dira mendapat tugas menjadi penerima tamu, dan dia berusaha untuk tidak tampak bagi Dygta, yang sepertinya malah berusaha menemukan Dira tepatnya saat usai acara resmi para siswa yang lulus tahun ini.

 

“Dira, aku nyariin kamu dari tadi, kemana aja, sih?” Dygta mengambil posisi duduk tepat disebelah Dira, yang sedang tidak mempedulikan siapapun kecuali buku bacaannya.

“Dira.” Sekali lagi Dygta memanggilnya sambil menatap wajah ayu Dira.

“Sedang tidak ingin diganggu.” Dira menjawab ketus.

Please, aku mau ngomong bentar.” Dygta memohon.

“Satu menit.” Dira tidak mengalihkan pandangannya dari halaman yang dibacanya.

Dygta menyodorkan selembar kertas, diselipkannya pada halaman yang tengah Dira baca.

Ini isinya :

(diambil dari sini)

 

“Lalu?” Dira tidak merubah ekspresinya sedetik pun.

“Maaf, kalau aku salah sangka dengan apa yang kamu lakukan kemaren, tapi yang pasti, aku mau kok berbagi sama kamu soal semangat membacamu itu. Aku lama berfikirnya, ya? Sebenarnya aku sedang berusaha membunuh gengsi-ku, aku gak suka kalau ketahuan sama yang lain, aku suka baca novel-novel seperti yang kebanyakan pembacanya adalah perempuan.”

“Lalu?” Sekali lagi Dira bertanya.

“Kita temenan, ya?” Dygta mengulurkan tangannya.

Dira mencoba menahan tawa dalam hati-nya, dan dia hanya tersenyum, menyambut ulur jabat tangan Dygta.

 

Malang, 6-7 Oktober 2011

Untuk Gerakan 30 Hari Menulis.

(1239 kata tidak termasuk yang ada dalam gambar)

 

Wednesday, October 05, 2011

Cerpen 3 : Hot pants Dinda


------

“Dinda!!!!”

Teriakan histeris dari lantai atas rumah sederhana itu membuat sang ibu tergopoh-gopoh menghampiri putrinya yang berteriak, meninggalkan semua kesibukannya di dapur yang harusnya segera diselesaikan, karena dua putri cantiknya akan segera beraktifitas pagi itu.

“Ada apa Dian?” Tanya sang Ibu pada si sulung yang wajahnya hampir menangis, dan saat melihat apa yang sedang dibereskan sang putri, si Ibu langsung menghapiri kamar si bungsu, Dinda.

“Dinda, kamu lagi ngapain, nak?” Si ibu bicara di depan pintu kamar, tanpa mengetuk. Sedetik kemudian Dinda muncul dari balik pintu.

“Lagi dandan, Bun.” Dengan gaya centilnya Dinda ber-pose dihadapan sang Ibu.

“Terus kenapa lemari kakak berantakan? Kamu ambil apa dari lemari kakak?” Lanjut sang ibu.

“Ini.” Dinda menunjuk celana pendek yang dikenakannya. Sebuah hot pants hitam dengan bahan semi jeans.

“Kamu mau kemana pakai itu, nak? Ini kan masih pagi? Bukannya seharusnya kamu pakai seragam ke sekolah?” Si Ibu menatap putri bungsunya itu bingung.

“Hari ini gak ada pelajaran, Bun. Ulang tahun sekolah. Kita bebas pakai kostum apa aja, terus Dinda, Vanya, Pingkan, dan semua cewek-cewek sekelas, janjian pakai kostum ini.” Dinda menjelaskan.

“Tapi apa tidak dimarahin sama pihak sekolah? Kan tidak sopan, Nak?”

“Tidak sopan gimana, Bun? Kalo ini jaman sekarang itu style paling gaul.” Dinda ngloyor pergi sebelum si Ibu melanjutkan sidangnya.

 

Kembali ke Dian.

Si sulung itu segera membereskan lemari pakaiannya, bagian yang dibongkar Dinda adalah bagian barang-barang koleksi hasil desain pribadi untuk tugas kuliahnya. Dian memang kuliah di jurusan fashion, dan mempermak segala jenis kostum adalah hobi-nya. Selama ini Dian tidak pernah melarang Dinda memakai hasil rancangannya, tapi membongkar isi lemari dan membuatnya jadi berantakan? Dian bukannya tidak pernah mengatakan pada Dinda untuk minta izin dulu, atau merapikan kembali isi lemarinya, tapi tetap saja, itu tidak selalu berhasil.

Dan pagi ini, saat Dinda sudah duduk di meja makan, Dian baru menyadari hasil rancangannya yang harusnya dikumpulkannya hari ini, sedang dikenakan Dinda.

“Itu harus aku kumpulkan hari ini!”

“Ah, kakak! Kan masih banyak yang lain.”

“Yang lain gimana? Aku bikin itu cuma satu, itu tugas minggu ini!”

“Tapi kan udah Dinda pakek, masa mau ganti lagi?”

“Ya harus ganti! Lagian itu bukan untuk dipake ke sekolah! Itu kostum PSK tau!!!”

“Kakak??!!!” Dinda berlari menangis menuju kamarnya.

Si Ibu yang menyaksikan kejadian pagi itu hanya menggeleng lemah. Lima menit kemudian Dinda turun dengan kostum yang sudah berganti. Kemeja kaos yang dipadukan dengan Rok pink dibawah lutut, hadiah dari Dian saat Dinda naik kelas bulan lalu.

“Nah, itu jauh lebih bagus!” Komentar Dian, tapi wajah Dinda tetap saja murung.

 -----

Pagi, sekejapan saja semuanya bergerak dalam rotasi waktu, semua yang berlalu dalam sehari tidak terasa, dan saat sore sepulang sekolah Dinda tampak membuang lelahnya di sofa ruang tamu. Matanya terpejam dan wajahnya tampak tersenyum, Dian menemukan Dinda seperti terlelap, tapi Dinda segera menyadari ada yang lewat didekatnya.

“Kakak!”

“Apa? Kirain tidur?”

“Nggak! Sini, deh!” Dinda mengambil posisi duduk segera, dan menepuk sofa dikirinya.

“Ada apa?”

“Makasih ya…” Dinda serta-merta memeluk Dian.

“Ada apa, nih?”

“Tadi teman-teman satu kelas dijemur di lapangan.”

“Kenapa?”

“Gara-gara pakek hot-pants.”

Dan mengalirlah penjelasan Dinda tentang kejadian hari itu.

“Pagi tadi waktu datang, teman-teman pada ngumpul di depan sekolah, ada yang udah pakek hotpants ada yang belum. Vanya marah-marah katanya, Dinda yang usul, tapi Dinda gak ikut pakek. Dinda jelasin omongan kakak tadi pagi. Tapi Vanya malah ngloyor masuk ke sekolah.

Ternyata guru-guru pada heran, kenapa Vanya dan teman-teman masuk ke sekolah pakai hotpants, dan dipanggillah semuanya yang pakai hotpants. Termasuk teman-teman cheers. Tapi untungnya sebagian besar mereka belum lepas seragam dan pakai kostum baru mereka yang Vanya modifikasi. Jadinya, cuma yang pakai hotpants tanpa membawa seragam yang kena hukuman. Disuruh berdiri di lapangan, dan dijemur sambil pakai sarung.”

“Pakai sarung?” Dian tersenyum bertanya, Dinda mengangguk kuat-kuat.

“Gurumu gak ada yang kasi ceramah?” Dian mencoba menyindir.

“Ada, Pak Win, mana orangnya tampangnya super galak, tapi kalau didengarkan dengan baik, semua yang dibilang Pak Win benar, lho, Kak.” Dinda me-review omongan guru-nya.

“Celana pendek itu buat dalaman, bukan buat dipakai diluar, lebih-lebih ditempat umum. Katanya terpelajar, tapi kok sukanya cari bahaya? Bukan cuma bahaya sinar ultraviolet yang katanya bisa ditangkal pakai tabir surya, bukan cuma bahaya debu dan polusi udara. Bagaimana kalau tiba-tiba kalian ketumpahan air panas, nyenggol knalpot motor, atau malah yang lebih ekstrim, pantat-nya ditepok sama orang-orang yang otaknya pada jorok.

Sekalipun artis-artis kita pada banyak yang kasi contoh begitu, tapi bukan berarti trend mode bisa kita telan mentah-mentah. Kita ini orang timur, dengan budaya sopan santun yang menjadi akar, yang harus dipertahankan. Moderenisasi, bukan berarti adaptasi tanpa filterisasi.” Dinda mengakhiri ceritanya dengan helaan nafas panjang.

“Pinter banget guru-mu, dek? Persis seperti yang kakak bikin dalam presentasi kakak soal trend mode, isinya. Lebih lengkapnya kamu baca sendiri, deh. Kakak mau mandi dulu. Oh, ya, lain kali jangan bongkar lemari kakak tanpa dibereskan lagi, ya!” Dian segera beranjak dari dari duduknya dan berlalu.

Dengan sedikit penasaran yang tersisa, Dinda membuka map presentasi kakak-nya, didalamnya ada banyak gambar desain hotpants, dan salah satu contoh barang, yang adalah hotpants yang tadi pagi dicoba Dinda.

Di salah satu halamannya tertulis :

 

Dian said :

Saya gak tau, ini pendapat pribadi saya, kok kadang-kadang, para generasi muda kita meng-adaptasi sesuatu tanpa dipikir baik-baik lebih dahulu. Hanya karena contoh dari public figure yang salah kaprah (menurut saya lagi) semua hal dicontoh, termasuk memakai ‘hot pants’ di tempat umum. Oke saja lah, kalau memang itu pantas (kata beberapa teman saya), terlihat sexy (kata cowok-cowok teman saya yang suka peregi ke club), tapi saya?

Secara bahasa, saya menegaskan rasa tidak setuju saya dengan membuat presentasi ini, sekalipun ada pembelaan, “bagaimana dengan bintang-bintang iklan yang pamer kulit di televisi?”

Saya beri penegasan disini, apa anda pernah bertemu para bintang iklan itu di tempat umum, pakai hot pants?

Ini kontroversi trend yang sempat sama saat tank-top digunakan di tempat umum. Hanya saja sekarang sudah banyak yang tau diri, dengan melapisi tank-top dengan cardigan atau jaket.

-----

Dinda menutup map presentasi itu, dan dia tersenyum sendiri, bersyukur karena mendengarkan apa kata Dian pagi tadi. Dalam hati Dinda berjanji, “aku akan jadi generasi yang pintar dan cerdas, bukan sekedar follower, tapi trendsetter.”

 

Check this link:

http://harapan-putra.blogspot.com/2011/08/hot-pants-trend-celana-pendek-ketat.html

http://babloglo.blogspot.com/2011/09/hot-pants-jadi-trend-cewek-jaman.html

http://www.facebook.com/note.php?note_id=170211196368481

 

Malang, 5 Oktober 2011

Untuk Gerakan 30 Hari Menulis.

(1033 kata termasuk link)


+ gambar dari mr.google

 

Tuesday, October 04, 2011

Cerpen 2 : Pilihan Dion


Matahari belum tinggi, hari itu adalah hari pertama bagi Dion untuk memasuki sekolah barunya. Pindah dari satu kota ke kota lain mengikuti kesibukan mama, bukanlah pilihan yang menyenangkan. Saat Dion sampai di meja makan, Diza sedang menyiapkan roti dengan lapisan selai coklat dan apel favorit mereka berdua. Diza menatap Dion tersenyum, dan melanjutkan kesibukannya tanpa suara. Diza adalah anak papa, dan Dion adalah anak mama. Mereka baru saja dipertemukan satu bulan yang lalu karena papa dan mama memutuskan untuk menikah, dan Dion harus mengalah dengan satu janji dari mama, ini adalah kepindahan terakhir bagi mereka.

“Aku boleh minta roti-nya?”

“Ini, isi coklat, kan?”

Dion menatap Diza dengan kagum. Sekalipun mereka se-usia, tapi Diza tampak begitu dewasa. Diza sudah sangat lama menggantikan posisi bundanya bagi sang papa. Dan bagi Dion itu adalah keajaiban, karena anak perempuan zaman sekarang, lebih suka menghabiskan banyak waktu nya di mall atau di salon untuk bersolek. Tapi Diza tidak. Sebelum memutuskan untuk satu sekolah dengan Diza atau tidak, Dion berfikir lama, mengamati setiap hari aktifitas Diza, mengikutinya kemana pun saudari barunya itu pergi, dan adalah satu hal yang paling mengagumkan, selain sekolah, waktu Diza dihabiskan dirumah. Guru les datang kerumah, teman-temannya main dirumah, sampai belanja apa pun dilakukannya dari rumah.

“Dion, kok bengong? Kamu ke sekolah kan hari ini?”

“Eh, iya.”

“Aku gak bisa kemana-kemana sepulang sekolah, jadi kalau kamu mau jalan-jalan, nanti aku kenalkan dengan Tyo, biar dia yang temani kamu.”

“Gak usah.”

“Gak usah gimana? Anak-anak disekolahku itu, suka gak ngeh kalau ada anak baru. Jadi kamu harus punya teman dulu satu, biar gak bingung cari kelas dan ngerjain tugas nanti.”

“Memangnya kita gak sekelas?”

“Nggak. Dengan kurikulum yang disesuaikan dengan sistem kredit, kita gak akan punya kesempatan satu kelas, kecuali memang dari awal kamu sekolah bareng aku.”

Dion menyelesaikan menyantap roti-nya, dan kemudian kembali ke kamar untuk mengambil tas-nya. Diza langsung menuju ke mobil yang akan mengantar mereka ke sekolah.

Masuk ke sekolah yang baru, bukan hal yang baru bagi Dion, tapi dikenalkan dengan seorang ketua OSIS di depan ruang guru, adalah pengalaman yang sangat baru bagi Dion. Serasa aneh dan terlalu istimewa, tapi karena sekolah Diza memang tidak biasa, jadi Dion berusaha bersikap sudah terbiasa. Ruang kelas yang isinya tidak pernah sama, guru-guru yang menjelaskan materi sambil memaksa siswanya melesaikan tugas praktikum, bahkan bel pergantian jam pelajaran yang selalu mengejutkan, karena tugas belum selesai mereka sudah harus mengumpulkan paper dan pindah ke kelas lain. Hingga saat jam istirahat tiba, kantin yang seluas dua kali lapangan basket penuh, setiap wajah saling berhadapan, bersama makanan juga tugas-tugas pelajaran kelas berikutnya.

Dion mencoba menemukan Diza, tapi kemudian pundaknya ditepuk pelan oleh seseorang, Tyo.

“Ayo, aku temani, nanti aku kenalkan dengan kelompoknya Diza.”

Dion berjalan mengikuti langkah Tyo, menuju satu meja yang dipeneuhi dengan banyak siswi cantik berambut panjang se pinggang yang tak diikat, semua penampilan mereka mirip, kecuali jepit rambut atau pun bandana mereka yang warna-warni.

“Diza, dicariin.” Tyo menyapa mereka, dan semua wajah menatap Dion.

“Hai, kenalkan, ini saudara baru aku, namanya Dion, yang minggu lalu sudah main kerumah tapi belum ketemu sama Dion, kenalkan ini Dion. Dion ini….” Diza menyebutkan tujuh nama yang tidak mungkin dihafalkan Dion saat itu juga.

“Ok, aku cari tempat lain aja, lanjutkan deh.” Dion segera beranjak meninggalkan keelompok gadis-gadis itu, menemukan satu meja yang tidak dihuni di sudut yang lain, tapi dia masih bisa melihat Diza dari tempat duduknya.

“Hai.” Kali ini dia dikejutkan dengan sapa seseorang, seorang gadis.

“Kata Diza, kamu ambil kelas Biologi ya setelah istirahat? Aku Jika, asisten kelas Biologi. Nanti bareng aku ya. Atau mau aku temani makan siang juga?” Dion menemukan tatapan aneh dari cara memandang Jika, tapi yang disadarinya kemudian Jika sudah duduk dan menyibukkan diri dengan makanannya ditambah buku modul biologi yang tampak tak biasa bagi Dion.

Ini adalah pengalaman pertama bagi Dion, ditemani duduk, makan, tapi dicuekin dan gak diajak ngobrol. Dan seperti sudah kenal kebiasaan siswa-siswi sekolah ini Dion membiarkan saja semuanya terjadi tanpa dia harus tampak kebingungan. Hingga bel kembali ke kelas mengejutkan setiap nafas, dan serempak mereka beranjak dari kursi kantin, dan tampak teratur menuju kelas masing-masing, Dion terkagum-kagum rasanya, kalau saja Jika tidak mengingatkannya, mungkin Dion masih akan asik menikmati pemandangan dihadapannya.

Sampai jam pulang sekolah, dan Diza tampak menunggu Dion di mobil yang menjemput mereka.

Gimana, capek? Mau pulang atau jalan-jalan lagi? Diza tersenyum menemukan wajah Dion yang lusuh dan kelelahan.

Pulang aja ya.

Dan mereka sesegeranya sampai dirumah. Diza segera kembali pada rutinitasnya, sedangkan Dion memilih untuk mengistirahatkan diri di sofa ruang tv, menatap langit-langit rumah yang berhiaskan ornament klasik, dan diperluas dngan pemasangan cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Ingin rasanya Dion tersenyum, tapi dia terlalu lelah, dan sekejapan dia terlelap.

Sesaat sebelum Dion membuka matanya, dia mendengarkan suara obrolan yang sepertinya sangat serius, tapi yang satu dia tau itu adalah suara Diza.

“Capek memang, Ma. Tapi itulah sekolah sekarang, kalau tidak serius, sepertinya semua tidak akan bisa diselesaikan. Mau tidak mau memang harus dijalani, dan ini semua pilihan. Kalau kata papa, lebih baik bersakit-sakit dulu sekarang, dari pada nanti kita tidak bisa mendapatkan apa yang  jadi keinginan. Banyak yang bilang sama Diza, terlalu menjenuhkan jadi Diza, sekolah, les, belajar terus, dan hampir tidak ada waktu bersenang-senang. Tapi kalau kita bisa lebih cepat menyelesaikan yang ini, kenapa harus ber-lama-lama. Lagi pula pilihan Diza sudah cukup jelas, dan Diza akan mengejarnya sekuat tenaga.”

“Eh, Dion, sudah bangun?” Suara mama menyapa saat menemukan Dion tengah menggeliat, memulihkan kesadaran dirinya.

“Ngobrol apa, Ma?” Dion mengalihkan posisi tidurnya menjadi duduk, dan menemukan Diza tengah berkutat dengan tugas sekolahnya.

“Mama ngobrol sama Diza soal sekolah, sepertinya hari pertama saja kamu sudah kelelahan, bagaimana yang berikutnya?”

“Diza kayaknya udah biasa banget, Ma. Hari pertama saja Dion bingung, seisi sekolah semuanya sibuk, bahkan sepertinya yang main di lapangan, cuma mereka yang punya energi lebih sepulang sekolah. Setiap hari gitu, ya Diz?”

“Itu pilihan namanya.” Diza menjawab singkat dan kembali tenggelam dalam kesibukannya.

Dion menemukan satu kesimpulan di hari pertamanya sekolah lagi, dan dia menuliskannya dalam satu catatan di dalam agendanya.

Setiap hari, orang tua kita bekerja, menghabiskan banyak waktu diluar rumah, dan kemudian ada anak-anak yang memilih untuk tidak mengganggu kesibukan orang tua mereka dengan menemukan kesibukan mereka sendiri, seperti Diza. Sepertinya belajar dan hanya belajar yang jadi pilihannya, bukan bermain atau bersosialisasi dengan dunia luar, apa lagi menghabiskan banyak waktu untuk bersenang-senang di lingkungan yang belum tentu menerimanya. Ini adalah salah satu potret kehidupan anak sekolah tahun 2011, belum lagi nanti generasi mendatang. Aku menentukan pilihanku sekarang, tidak masalah aku lelah belajar, tapi aku akan tetap menikmati hidupku dengan caraku.

Dion mengambil gitarnya, dan pergi keluar rumah, yang jadi tujuannya adalah lampu merah kedua setelah keluar dari komplek perumahan tempat dia tinggal sekarang. Tadi saat pulang sekolah, dilihatnya ada sekumpulan anak jalanan yang sedang sibuk belajar, tapi Dion yakin, mereka masih punya waktu untuk bersenang-senang.

 

Malang, 4 Oktober 2011

Untuk Gerakan 30 Hari Menulis.

(1150 kata)



+ gambar dari sini

Monday, October 03, 2011

cerpen 1 : Doa

Suatu hari di awal Oktober yang bersinar indah, sepasang gadis merayakan hari lahirnya yang ke-20. Seorang gadis bernama Davee, mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta bergengsi, yang punya banyak tambahan penghasilan dengan menjadi model foto dan video-klip penyanyi-penyanyi terkenal di negeri ini. Dan seorang Gadis lainnya bernama Divaa, hanya seorang mahasiswi yang tidak pernah terlalu terkenal di kampusnya, suka berkutat dengan buku dan tidak suka kalau didekati secara langsung oleh para penggemar Davee yang mau minta nomer telpon melalui dia.

 

Mereka tidak pernah sama dalam banyak hal, sekali pun sama-sama cantik dan menarik, tapi Davee jauh lebih pemberani dan punya banyak kemauan untuk maju dan menjadi nomer satu. Sedangkan Divaa, sekalipun dia sering menyanyi, tapi hanya dalam paduan suara, saat ditawari untuk menyanyi solo, itu hanya akan diterimanya kalau dia menyanyi untuk ajang besar, yang penontonnya tidak kenal Davee atau mama atau papa atau siapa pun yang ada di rumah.

 

Hari itu, saat sebelum meniup lilinnya bersamaan, mereka berdoa, untuk impiannya masing-masing.

 

Doa Davee

 

Tuhan, ini adalah permintaanku yang sangat penting, tolong kabulkan yaa…

Aku ingin menikah di ultahku yang ke-25, dengan Radita yang paling aku cintai di seluruh dunia. Aku ingin karirku Berjaya sebagai akuntan dengan gaji dollar yang berlimpah. Dan sebelum usiaku 30, aku ingin sudah punya rumah mewah dan Lamborghini terbaru di tahunnya nanti. Oh, ya, jangan lupa Tuhan, aku tidak ingin terlihat lebih tua dari Divaa, karena aku masih ingin tetap jadi model sampai aku lebih senior daripada Inneke atau pun yang lain. Kabulkan ya Tuhan.

 

Doa Divaa

 

Tuhan, ini adalah hari terbaikku, ada Davee, ada mama, ada papa. Terima kasih karena telah mengumpulkan mereka disini Tuhan, Terima kasih karena telah memberiku kesempatan hidup, dan berkumpul bersama mereka hingga hari ini. Aku bukan yang teristimewa di sisi-Mu, tapi Kau adalah yang teristimewa untukku. Karena itu hanya kepada-Mu aku akan meminta.

Biarkan aku menemukan jodoh terbaikku dengan cara yang terbaik menurut-Mu, dan dia akan meminangku disaat yang tepat bagi-Mu. Aku tidak ingin harta seperti Raja Midas, aku hanya ingin Engkau memberiku setiap suapan dengan kasih-Mu, hingga aku tetap akan bisa membahagiakan mereka yang disekitarku. Dan masa depanku adalah rahasia-Mu, aku akan menerima setiap kebaikan-Mu sebagai hadiah terbaik bagiku. Terima kasih Tuhan, karena-Mu, aku ada.

 

Dan lilin itu ditiup bersama.

 

10 tahun kemudian.

 

Davee menatap Divaa murung, sekalipun di bibirnya terulas senyum, tapi wajahnya tidak menyiratkan kebahagiaan apapun. Selayaknya seeseorang yang marah, itu yang tergambar pada raut Davee, saat dia menatap bayi kecil di pelukan Divaa.

 

Ada Aditya, Sheila, dan si new born baby Arkan, yang mengelilingi Divaa dan saling berpelukan penuh kasih. Mereka sedang ada di dalam ruang rawat untuk si ibu. Dan Divaa sedang akan menyusui bayi-nya kali pertama. Mama dan Papa menatap dari jauh kebahagiaan Divaa yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, di perayaan usianya yang ke 30, hari jadi pernikahannya yang ke 6, Divaa punya dua orang anak yang sehat dan diberkahi kesempurnaan. Semua tampak lengkap dan saling melengkapi, tapi kebahagiaan itu tidak ada diraut wajah Davee, perlahan tanpa disadari yang lain Davee keluar dari kamar itu, dan duduk sendiri, menatap kue ulang tahunnya yang masih utuh.

 

Beberapa jam kemudian, saat mama dan Papa sudah pulang, Aditya sedang mengurus kebutuhan Sheila, dan baby Arkan sedang terlelap di kamar bayi, Davee menghampiri saudara kembarnya itu dengan kue ulang tahun tanpa lilin di tangannya.

 

Divaa menyambutnya dengan tersenyum tulus, lalu mereka mulai mengobrol, diawali dengan sapa Divaa yang sangat tulus.

 

“Kakak ku yang cantik, kenapa sedih?”

 

“Aku bukan kakak-mu, aku cuma saudara kembarmu yang tidak seberuntung kamu.”

 

“Kok, gitu sih, ngomongnya? Nanti Tuhan marah, lho. Dia sudah kasi kita usia sampai hari ini, semuanya harus disyukuri.”

 

“Tapi aku tidak bisa merasakan apa yang kamu rasakan, akutidak punya semua yang kamu punya.”

“Kenapa? Apa Kakak gak pernah minta sama Tuhan?”

 

“Aku minta semua, semua-mua-nya, waktu kita tiup lilin, aku selalu ingatkan Tuhan semua yang aku mau.”

 

“Waktu tiup lilin? Waktu tiup lilin aja?” Davee meng-angguk kuat-kuat.

“Kakak gak pernah ingatkan Tuhan diwaktu lain?”

 

“Diwaktu lain kapan maksudnya?”

 

“Disetiap waktu, saat Kakak mengingat-Nya, disetiap kebahagiaan yang harus disyukuri karena semua keberkatan-Nya, disetiap menit yang kita punya?” Davee menutup matanya sesaat, lalu menatap Divaa, dan menggeleng lemah.

 

“Kak, maaf, kalau Divaa tidak bisa selalu mengingatkan kakak. Tapi kali ini Divaa akan ingatkan kakak tentang sesuatu. Kakak, Tuhan sangat Pemberi. Dia tidak pernah pilih kasih, tapi Tuhan tidak akan memberi apa pun dari apa yang kita inginkan, kalau kita tidak mau meng-ingat semua pemberian Dia, dan bersyukur pada-Nya.

 

Kakak ingat saat kakak mendapatkan pekerjaan di bank hari itu? Semua orang bersyukur untuk itu, termasuk aku. Dan saat Kakak batal menikah dengan Radita, semua bahagia, karena segala yang buruk dibuka-kan Tuhan pada kita. Aku sangat bersyukur untuk itu, sekali pun kakak mengurung diri sampai mama dan papa kebingungan. Dan saat tawaran untuk show ke Milan datang, papa dan Mama selalu berdoa pada Tuhan, agar pilihan yang datang itu adalah yang terbaik, yang bisa jadikan kakak pulih dari kesedihan kakak, dan membuat kakak berani menjalani hidup lagi. Dan semua itu, karena syukur dan doa kita semua pada Tuhan.”

 

“Tapi kamu miliki semua yang ada dalam doaku.”

 

“Apa kak?”

 

“Suami, anak, kasih sayang, rumah, dan semua-mua-nya, yang sampai hari ini aku inginkan, tapi belum aku dapatkan.”

 

“Kak, setiap doa adalah pengharapan. Tapi doa itu bukan sesuatu yang harus sama persis seperti apa yang kita inginkan lalu Tuhan berikan pada kita.” Divaa menghela nafasnya, dia mengambil gelas disisinya, lalu mengisinya dengan air, bening.

 

“Kakak lihat isi gelas ini? Bening, aku yang mengisikannya kedalam gelas.”

 

“Maksud kamu?” Sesaat Divaa meneguk airnya, langsung habis.

 

“Seperti itu Tuhan mengabulkan apa yang kita inginkan. Kita hanya bisa ber-doa dan berusaha, disetiap waktu yang kita punya, seperti air dalam gelas tadi, bening. Dan aku meminumnya dengan kerelaan, karena hanya itu yang ada, dan Tuhan hanya memberiku air itu, bukan yang rasanya manis, bukan yang warnanya merah, bukan yang membuatku tidak pernah haus lagi. Kalau saja aku minta pada Tuhan, aku ingin air yang manis, merah, dan menggugah selera, mungkin malah Tuhan tidak memberiku air satu tetes pun, karena aku meminta dengan syarat, dan Tuhan adalah satu yang paling tidak suka diberi syarat.”

 

“Jadi?”

 

“Jadi, kalau meminta pada Tuhan, mintalah sesuatu, yang menurut Tuhan, adalah yang terbaik, terbaik untuk kita dapatkan. Jangan meminta apa pun, dengan syarat, seperti yang kita mau.”

 

Davee mengangguk lemah, dan dia menundukkan kepalanya dalam diam, Divaa meraih jemari saudaranya itu dan menggenggamnya lembut.

 

“Ayo, kita berdoa, kak. Trus tiup lilin.”

 

 

Malang, 3 Oktober 2011

Untuk Gerakan 30 Hari Menulis.

(1077 kata)


+ gambar dari sini